Opini  

Horeg dan Filosofi Kemerdekaan

Binti Rohmatin, Wakil Ketua PWI Kabupaten Jombang dan Sekretaris 2 Perwosi Kabupaten Jombang.

PERAYAAN Kemerdekaan RI ke-79 memang telah usai. Namun serangkaian gebyar HUT Kemerdekaan RI masih terasa hingga akhir bulan September 2024. Karnaval dengan deretan sound horeg terlihat di beberapa tempat. Baik di Kabupaten Jombang maupun kabupaten lain.

Memang, Kemerdekaan menjadi momen penting untuk dijadikan renungan sekaligus mengenang seberapa besar perjuangan para pahlawan yang telah gugur di medan perang. Perayaan semata tidaklah cukup hanya dengan euforia dan kegiatan yang tidak mencerminkan keinginan sekaligus harapan para palawan. Sebaliknya, justru yang seharusnya bisa dilakukan adalah transformasi semangat nasionalisme hingga jadi aksi konkret untuk kemajuan bangsa.

Karnaval misalnya semakin ke sini semakin tidak menunjukkan semangat nasionalisme. Usung pawai budaya hanya sekadar bungkus dan menjadi kulit luar sebuah kegiatan, sehingga yang nampak memperhatikan budaya bangsa.

Justru yang berada di baris depan adalah sound horeg yang disusul baris berikutnya sekelompok kaum muda, bahkan tidak sedikit ibu-ibu mendekati umur parubaya dengan kostum tertentu melakukan joget bersama. Mengiringi lantunan musik sound dengan suara yang menggelegar hingga memekik telinga. Tak sedikit, musik dengan sound horeg itu menghasilkan getaran tak karuan pada kaca dan bangunan rumah di sekitar sepanjang armada truk melintas.

Diakui atau tidak, terutama di Pulau Jawa sound horeg ini menjadi tradisi dalam acara karnaval baik di tingkat desa, kecamatan hingga tingkat kabupaten. Sound akan ditampilkan dalam bentuk yang sangat besar dengan armada truk. Tumpukan sound ini dilengkapi dengan lighting berkapasitas besar dan sederet lampu warna-warni yang bisa menyorot di segala penjuru.

Lampu-lampu ini sangat terang dan terfokus yang bisa mempengaruhi cahaya dan suasana dalam sebuah konser. Hal ini justru menarik perhatian masyarakat yang melihat dari awal persiapan, bahkan pra karnaval sampai dengan selesai karnaval hingga tengah malam.

Baru kemudian di urutan berikutnya, ada pawai budaya yang berjalan melintas. Budaya yang diusung peserta pun seadanya. Jika ada yang benar-benar mengusung keragaman budayapun, jumlahnya tak seberapa. 1 banding 10, dari sekitar 20 grup yang menjadi peserta, hanya dua-tiga grup yang benar-benar mengusung keragaman budaya nasional.

Belum lagi pasca karnaval yang didominasi deretan sound horeg, tumpukan sampah berkeliaran di mana-mana. Sampah plastik paling mendominasi. Baik plastik gelas atau botol bekas minuman, kantong, maupun plastik bekas alas untuk menonton secara lesehan. Tumpukan sampah itu pun luput dari perhatian panitia. Paling-paling, kemudian pada hari berikutnya, tumpukan sampah plastik ini menjadi beban pemilik rumah sekitarnya.

Hal inilah yang justru jauh dari filosofi Kemerdekaan itu sendiri. Pada dasarnya, dari makna Kemerdekaan RI yang harus bisa kita tunjukkan adalah kontribusi nyata generasi bangsa dalam upaya menciptakan perubahan positif bagi Indonesia.Tinggalkan sekedar seremoni Kemerdekaan yang tidak ada artinya. Hanya membuang-buang anggaran dan menguras energi tiada guna.

Minimal sebagai generasi muda, tunjukkan kemampuan di bidangnya. Jika ada kemampuan di bidang teknologi informasi (IT), maka gerakkan kemampuan untuk memberantas aksi hoaks di mana-mana, tekan konten judi online agar tidak semakin menyebar, merambah hingga anak-anak.

Jika ada kemampuan di bidang usaha, maka terapkan usaha yang kolaboratif dengan banyak merekrut teman sebaya. Menerapkan ilmu usaha dengan berbisnis langsung, maka dalam falsafah Islam bahwa ilmu tersebut akan lebih bermanfaat untuk semua kalangan.

Begitupun yang memiliki kepedulian di bidang lingkungan, maka tunjukkan aksi nyata minimal di tempat tinggal atau rumah sendiri. Aksi nyata peduli lingkungan ini juga bisa dikembangkan di tempat kerja, kantor-kantor dan di mana saja berada. Ketika ada kegiatan karnaval dengan pesta sound horeg, jalan sehat, pengajian atau apa saja yang melibatkan massa, maka setelah selesai kegiatan harus segera dibersihkan.

Mari kita jadikan filosofi 17 Agustus sebagai pendorong semangat untuk terus berjuang, bersatu, dan bekerja sama dalam mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Jangan tunggu nanti. Tunjukkan sekarang, pasti bisa. (*)

 

Penulis : Binti Rohmatin

(Wakil Ketua PWI Kabupaten Jombang dan Sekretaris 2 Perwosi Kabupaten Jombang)

Exit mobile version