Armada Rakyat

Binti Rohmatin, Wakil Ketua PWI Kabupaten Jombang.

Menurut Penulis, Pemerintah Kabupaten Jombang dapat mengadopsi konsep wisata rakyat seperti Bandros dengan menggunakan armada Tayo untuk mengembangkan wisata religi di Jombang.

BERKELILING menyusuri Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Banjardowo dan Bank Sampah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Jombang, yang dilakukan Dharma Wanita Persatuan (DWP) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang, dengan armada Tayo, pada Kamis (12 Juni 2025), mengingatkan saya akan Bandrus (Bandung Tour On The Bus).

Bus wisata yang disediakan Pemkot Bandung untuk wisatawan berkeliling Kota Bandung ini sangat merakyat. Armada ini sama dengan Tayo yang banyak digunakan warga Jombang. Cukup memanfaatkan AC alami alias angin brobos (AB) yang masuk ke hampir sisi kanan kiri, depan belakang Bandros. Lengkap dengan musik karaoke yang disetel sepanjang perjalanan.

Ya, Bandros betul-betul menjadi armada rakyat. Selain harga sewa yang merakyat, tidak menguras kocek banyak, pemiliknya juga rakyat biasa. Terbukti, upaya menggerakkan sektor pariwisata ini mampu menumbuhkan perekonomian warga sekitar. Termasuk pemilik usaha UMKM. Apalagi rute yang ditempuh cukup panjang, mengelilingi Kota Bandung dengan durasi waktu 45-60 menit. Bergantung tingkat kepadatan arus lalu lintas.

Mulai Alun alun Kota Bandung – Jl Banceuy – Jl Cikapundung – Jl Braga – Jl Suniaraja – Jl Perintis Kemerdekaan – Jl Wastukancana – Jl LLRE Martadinata – Jl Ir H Djuanda – Jl Diponegoro – Jl Citarum – Jl Lombok – Jl Aceh – Jl Sumatera – Jl Tamblong dan Jl Asia Afrika tempat mangkal makhluk astral buatan mencari berkah. Semua kalangan yang berwisata ke Bandung, pasti diarahkan menggunakan armada ini. Tak terkecuali wisatawan kalangan menengah ke atas. Mereka pun tak malu keliling kota naik Bandros.

Nah, terobosan yang digagas Wali Kota Bandung Ridwan Kamil pada malam tahun baru 2014 ini sepertinya bisa diterapkan di Jombang. Dipungkiri atau tidak, gaung pariwisata di Jombang selama ini tak terdengar. Gerakannya juga sangat lambat. Nyaris tak terlihat. Padahal Kabupaten Jombang memiliki potensi pariwisata yang bisa digali.

Sebagai daerah yang banyak melahirkan ulama dan tokoh nasional. Kreativitas bisa dimulai dari wisata religi. Tiga ulama kharismatik bisa dijadikan modal awal penggunaan Tayo ini. Ziarah dengan armada rakyat bisa dimulai dari makam KH Wahab Chasbulloh di Ponpes Bahrul Ulum Tambakberas. Kemudian berlanjut rute ke makam KH Bisri Syansuri di Ponpes Mambaul Ma’arif Denanyar. Setelah dua titik ini perjalanan bisa diarahkan ke tempat oleh-oleh. Termasuk produksi jenang kelapa Denanyar. Atau diarahkan ke Gerai Dekranasda Jombang.

Sedangkan tujuan ketiga, makam mbah KH Hasyim Asyari yang berada satu lokasi dengan makam mantan Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di Ponpes Tebuireng. Di sini sudah banyak kios yang menyediakan berbagai macam oleh-oleh. Baik makanan maupun produk handmade. Termasuk kaos Gus Dur yang bisa dijadikan kenang-kenangan. Untuk menambah tujuan, pengguna jasa Tayo bisa diajak menyusuri sentra pengrajin batik di Desa Jatipelem atau olahan keripik tempe khas Jombang di Diwek.

Dengan rute enam titik yang akan dilalui Tayo sepanjang 35 Km ini memerlukan waktu antara dua hingga tiga jam. Minimal, Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Kabupaten Jombang, bisa mengenalkan kepada semua masyarakat bahwa di Jombang bisa tercipta kreativitas pariwisata. Menumbuhkan geliat perekonomian warga sekitar, termasuk UMKM. Pemilik usaha Tayo juga kecipratan rejeki.

Sebagai tambahan, tujuan wisata religi bisa dilengkapi ke makam Mbah Sayid Sulaiman di Dusun Rejoslamet, Desa Mancilan, Kecamatan Mojoagung. Rute ini menyusuri area persawahan yang sejuk di Kecamatan Jogoroto dan Mojowarno. Bila darmawisata ini dilakukan pagi/sore hari, maka pemandangan alam yang sejuk dengan view Gunung Anjasmoro bisa diexplore dengan maksimal. Sangat Indah.

Untuk itu mari kita analisa ada berapa persen pertumbuhan ekonomi yang akan bergerak. Untuk satu unit Tayo dengan sewa Rp 400 ribu berkeliling Jombang kota, paling tidak ada penghasilan sekitar Rp 200 ribu. Pendapatan bersih ini setelah dikurangi biaya operasional seperti solar, ongkos dan tips sopir, parkir dan lain-lain tak terduga selama perjalanan. Untuk satu unit Tayo bisa diisi 30 penumpang dewasa.

Saat diajak mampir ke pusat oleh-oleh Jombang, bila 50 persen penumpang Tayo berbelanja antara Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu, maka pergerakan ekonomi terlihat nyata. Dana yang berputar di pemilik usaha rumahan dan UMKM berkisar antara Rp 750 ribu sampai Rp 1,5 juta setiap hari. Belum lagi jasa parkir dan supeltas yang juga dapat berkahnya. Menyesuaikan pertigaan/perempatan/gang dari jumlah armada Tayo yang digunakan.

Di Jombang sendiri, armada rakyat yang tergabung di Paguyuban Sepur Kelinci (SK) Jombang terdata 80 unit. Jumlah itu berasal dari sekitar 60 pemilik. Tayo di masing-masing kecamatan dikoordinir korwil. Selama ini, dalam setiap bulan, order darmawisata yang diterima sekitar 10 kali. Dengan tujuan Jombang, Mojokerto, Kediri sampai Blitar. Seandainya ada kebijakan untuk kebutuhan pengembangan wisata religi di Jombang, maka order yang mereka terima bisa bertambah.

Jadi tunggu apa lagi. Analisa sederhana ini ada baiknya didiskusikan, dikaji bersama untuk dicoba. Evaluasi kebijakan tentu tetap dilakukan demi kebaikan bersama. Tidak ada kata terlambat untuk memulai yang baik-baik. Bismillah Jombang bisa. Gali potensi wisata pro rakyat dengan armada rakyat. Penghasilan dan perputaran ekonomi juga untuk rakyat. (*)

* Penulis adalah wartawan yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Jombang Periode 2024 – 2027.

Exit mobile version