Kekerasan yang Menghancurkan; Investigasi Perkosaan dan Pembunuhan di Jombang

Penulis: Alfiyah Ashmad, MA., Koordinator Advokasi dan Hukum PC Muslimat NU Jombang

Ilustrasi pemerkosaan
Ilustrasi (Istimewa)

Kasus perkosaan disertai pembunuhan terhadap siswi kelas 3 SMA di Jombang, Jawa Timur oleh tiga pelaku, yaitu AP (18), ATF (18) dan LI (32), menjadi berita mengerikan. Pelaku mulanya hanya ingin menguasai harta korban, termasuk handphone dan sepeda motor.

Namun karena korban menolak, maka pelaku mencekoki korban dengan minuman keras. Karena pelaku dalam kondisi mabuk, mereka meperkosa dan dilanjutkan dengan pembunuhan, yakni membuang korban ke sungai.

Kasus ini selayaknya menjadi renungan, mengapa kekerasan seksual masih terus terjadi. Mengapa penegakan hukum belum cukup efektif mencegah terjadinya kekerasan seksual dan pembunuhan? Langkah apa yang perlu dilakukan?

Tulisan ini akan mengurai penyebab perkosaan dengan menggunakan pendekatan sosio-anthropology, yaitu mengenali profil pelaku, tepatnya penyebab ia melakukan kekerasan seksual, faktor psikologi dan sosial apa yang mempengaruhi?

Pemahaman ini penting karena perilaku kejam tidak muncul dalam sehari semalam, tapi sudah menjadi puncak dari kebiasaan seseorang melakukan tindakan merugikan, tanpa memiliki empati dan memikirkan dampak perbuatannya.

Sungguh! kasus perkosaan di Jombang ini hanyalah satu dari ribuan kasus yang terjadi di Indonesia. KEMENPPA melalui data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), mencatat bahwa dalam rentang waktu Januari sampai Juni 2024, terdapat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak dengan 5.552 korban anak perempuan dan 1.930 korban anak laki-laki.

Kasus kekerasan seksual menempati urutan pertama disamping kekerasan fisik dan psikologi. Kasus yang tercatat ini hanya sebagian kecil dari kasus yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Ibarat gunung es, hanya sedikit kasus yang dilaporkan. Sebagian besar kasus diselesaikan secara kekeluargaan, tanpa memperhatikan kebutuhan anak, sebagai korban. Oleh karena itu, pencegahan kasus kekerasan seksual dengan berbagai pendekatan, termasuk pendekatan sosio-Anthropology harus dilakukan.

Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis telah mengenalkan teori Habitus (1989). Teori ini menjelaskan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh serangkaian disposisi, kecenderungan, dan tindakan yang terinternalisasi oleh individu sebagai hasil dari interaksi mereka dengan struktur sosial di mana mereka hidup. Melalui kehidupan sehari-hari ini, seseorang belajar secara dialektis berulang, untuk merasakan, menyadari, memahami dan menilai pola kehidupan sosial yang ada di sekitarnya.

Dalam konteks kasus di Jombang, AP, pelaku perkosaan dan pembunuhan asal Desa Sembung Perak Jombang misalnya, adalah anak yang tumbuh jauh dari kasih sayang ayah dan ibu. Ketika ia masih berusia 3 bulan dalam kandungan, sang ayah meninggalkannya. Si ibu yang masih belia, harus menanggung beban sendirian. Setelah AP lahir, ia dititipkan kepada kakek dan neneknya untuk perawatan dan pengasuhan. Si ibu bekerja, menikah lagi dan kemudian tinggal bersama keluarga barunya.

AP hidup bersama nenek yang bekerja sebagai buruh tani, dan kakek bekerja sebagai buruh panggul di sebuah gudang pupuk pertanian. Rumah kakeknya bersebelahan dengan beberapa rumah keluarga besar, yang terletak di sebuah gang buntu dengan lebar jalan sekitar 1 meter. Sebagian anggota keluarga besar AP memiliki perangai kasar. Cacian, makian, pukulan dan juga kalimat, “Pateni ae! (Bunuh saja)” seringkali terdengar dalam pertikaian mereka. AP juga menjadi salah satu korban. Sejak kecil ia sering menerima kekerasan, jika dianggap melakukan kesalahan.

Cerita kekerasan di gang ini sudah terkenal di lingkungan sekitar. Pernah seekor kucing ketahuan mencuri makanan di rumah, langsung dipotong lehernya. Pernah juga terdengar cerita tentang seekor ayam yang mematok makanan milik salah satu keluarga tersebut, langsung ditangkap dan dihantamkan ke tembok sampai mati.

Tumbuh dalam interaksi sosial yang sering melakukan kekerasan, perilaku AP juga kasar. Ia sering berkelahi dengan teman sebaya, bahkan ia tidak takut untuk memukul salah satu tokoh tani yang berusia jauh diatasnya. Perangai kasar ini yang membuat warga sekitar cenderung menghindar atau melarang anak-anak mereka bergaul dengan keluarga yang tinggal sekitar gang sempit ini untuk menghindari pertengkaran.

Pendidikan AP juga lemah. Yakni hanya sampai pada kelas 7. Ia tidak hanya dirinya, empat kerabatnya yang tinggal di sekitar gang ini juga putus sekolah. Beberapa tokoh masyarakat telah mendaftarkan AP ke sekolah Non-Formal, kejar paket B sebagai bentuk kepedulian. Namun, uluran tangan ini disia-siakan. Ia tidak mengikuti peraturan pembelajaran.

Sehari-hari, AP suka pergi memancing, ngamen atau bekerja mencetak batu-bata, kuli panggul dan buruh serabutan lain. Sebenarnya ia pernah menjadi pekerja tetap di sebuah pertokoan. Namun ia dikeluarkan karena diketahui minum minuman keras.

Sebenarnya, nafas kegiatan sosial keagamaan di sekitar rumah AP cukup terasa. Jama’ah, pembacaan yasin-tahlil, dan diba rutin dilakukan kelompok bapak-bapak dan ibu ibu. Pengajian ilmu keagamaan juga diselenggarakan di Musala yang tak jauh dari rumah AP. Sang nenek juga aktif mengikuti kegiatan keagamaan tersebut. Sayangnya, AP tidak mengikuti kegiatan keagamaan ini. Ia seringkali menghabiskan waktu untuk bekerja dan atau bermain dengan teman di luar kampungnya.

Dari profil AP di atas dapat disimpulkan bahwa ada tiga faktor utama yang menyebabkan ia tumbuh menjadi pribadi yang kasar dan brutal.

Pertama, hilangnya kasih sayang dan figur pendidik utama sejak balita, yaitu ibu dan ayah.

Kedua, kakek dan nenek yang diharapkan berperan sebagai pengganti pengasuhan, ternyata tidak mampu melakukannya karena faktor kemiskinan dan keterbatasan pengetahuan. Keseharian hidup lebih banyak digunakan untuk bertarung dengan bagaimana cara mendapat uang agar bisa makan hari ini, lusa dan atau setidaknya satu minggu kedepan.

Ketiga, jaring pengaman sosial terdekat, yaitu keluarga besar yang tinggal di sekitar rumahnya, ternyata justru mengajarkan kebiasaan agresif, berkata kasar dan bahkan menyerang dengan pukulan. Penyelesaian masalah seringkali dilakukan dengan memaki, memukul, mencuri dan atau minum minuman keras, untuk melupakan sesaat beban kehidupan. Tak ada pemikiran penyelesaian jangka panjang. AP tumbuh liar, tak ada yang mampu mengendalikan. Perkosaan adalah bagian dari caranya untuk menyakiti perempuan yang tidak mengikuti keinginannya.

Sungguh! Kasus AP adalah pelajaran besar. Diperlukan kerjasama semua pihak, mulai dari keluarga, lingkungan sekitar dan juga pemerintah untuk mencegah agar tak terjadi perkosaan dan kekerasan serupa di masa mendatang.

Pertama, setiap pasangan, laki-laki dan perempuan, harus bertanggung jawab dalam melahirkan, merawat dan mengasuh anak-anak. Ketimpangan gender sering meletakan perempuan pada situasi tak berdaya, seperti yang dialami Ibu AP. Di sinilah pentingnya pemberdayaan perempuan, termasuk kemandirian ekonomi sebelum pernikahan. Sehingga nasib diri dan anak tetap berada dalam genggaman, ketika suami tidak dapat diharapkan.

Kedua, social Safety Net atau jaring pengaman sosial yaitu keluarga besar dan atau tetangga yang berada di sekitar, perlu waspada. Jika ada kelompok masyarakat yang terbiasa bersikap kasar, maka tokoh masyarakat, RT, RW dan Kepala Desa perlu melakukan pendekatan. Pada titik tertentu, nampaknya perlu ketegasan. Yaitu larangan mengganggu ketentraman lingkungan.

Ketiga, kemiskinan ekstrem seperti yang dialami keluarga kakek nenek AP adalah penyebab utama sulitnya memberi pengasuhan yang baik di dalam keluarga. Pemerintah perlu melakukan langkah, termasuk mengamankan alokasi anggaran, untuk kebutuhan dasar dan pangan mereka. (*)

 

*Penulis: Alfiyah Ashmad, MA., Koordinator Advokasi dan Hukum PC Muslimat NU Jombang

Tinggalkan Balasan